Mendoan Metropolitan

Apa yang ada dipikiran kalian kalo denger kata “Mendoan” ? Pasti kalian bakal ngebayangin sebuah tempe yang dibalut terigu renyah langsung diangkat dari penggorengan, tak lupa disajikan beserta teh hangat di meja makan. Enak gak tuh? Kalo gue pribadi sih doyan hehe. Hidup dikota kecil mungkin masih banyak ya yang jual mendoan, biasanya disandingkan dengan gehu, bala-bala dan lepeut. Bahkan kalo nyari gorengan dikota kecil itu udah kaya “Setia” , setiap tikungan ada. Nah kalo di kota besar? Bukan gak ada yang jual gorengan kaya gitu, mungkin lebih ke jarang dan masyarakat perkotaan sekarang lebih memilih jajan makanan dari fast food dan mulai melupakan jajanan pinggir jalan. Apalagi kalo awal bulan kan? hayo ngaku..

Oke itu dia intro tentang gorengan, but kali ini gue mau bercerita tentang pengalaman membuat film dokumenter tentang mendoan. Dokumenter tentang mendoan? Alesan gue bikin ini bukan ke makanannya, tapi lebih ke penjualnya. Berawal dari sepulang kuliah temen gue minta anter beli tempe mendoan didepan kampus, terlihat dari jauh sebuah roda kumuh yang bertuliskan ‘Mendoan Lamongan’ , jujur aja first impression gue saat itu ya gak mau beli. Roda kecil tersebut ternyata dijaga oleh seorang bapak tua berkaca mata, wajahnya yang mulai berkerut serta tenaganya yang sudah tidak kuat lagi membuat kami harus menunggu setengah jam untuk dua buah tempe mendoan seharga lima ribu rupiah. Gerobak kecilnya itu dihimpit oleh 2 gerobak makanan yang selalu ramai pembeli, cuman gerobak dia aja yang sepi bahkan tidak dilirik sama sekali. Karena kasian  melihat keadaan bapak tersebut, akhirnya gue ikut memesan mendoannya itu. Jujur aja, rasanya itu enak dan kenyang. Biasanya kalo beli mendoan itu kan suka kecil-kecil, nah ini tempenya gede banget sampe-sampe makan dua aja udah gak sanggup makan lagi. Sejak pertama kali beli, akhirnya gue jatuh cinta dengan rasanya yang lumayan dan akhirnya memutuskan untuk menjadi langganan.

Suatu akhir semester yang mengharuskan membuat sebuah film dokumenter, hal terbesit yang pertama adalah kebun binatang. Selain murah, akses liputannya juga gak terlalu ribet. Namun karena kendala waktu dan lain-lain, gue aci dan nindy akhirnya harus memutar otak mencari ide-ide untuk bahan dokumenter tersebut. Tak sengaja terpikirkan mendoan dan bapak penjualnya saat itu, rasanya cukup bagus untuk mengenal karakter sebenarnya dari bapak ini. Setelah beruding dan diskusi dengan dosen, akhirnya kita sepakat untuk mengambil tema human interest. Sepulang kuliah, dengan semangat gue mendatangi bapak mendoan ini. Setelah kami berkenalan, akhirnya bapak ini mau juga diajak syuting bareng kita. Setelah deal, kita cuman dikasih clue alamat rumahnya aja tanpa mau memberi no hp, entah dia gak mau atau memang enggak punya.

Pagi itu masih terlihat sepi, waktu menunjukan pukul 6 pagi. Sesuai janji, gue dan aci harus bersiap-siap pergi untuk syuting tugas dokumenter itu. Dengan berjalan kaki dari PGA ke Mengger, cukup menguras lemak-lemak yang menempel ditubuh kita. Tak disangka, alamat yang diberikan bapak ini kurang lengkap, bahkan warga di sekitar Mengger gak ada yang tau nama aslinya. Setelah berkeliling selama 1 jam, akhirnya ada seorang warga yang memberi pencerahan hingga mengantar kita kedepan pintu rumahya.

Namanya pak Amir, pria berumur 80 tahun ini masih semangat menjual tempe mendoan selama 10 tahun lamanya. Saat pertemuan pertama dirumahnya, terlihat tidak tertata dan jauh dari kata rapi. Namun kita abaikan semua itu, segera pak Amir berganti pakaian dan siap untuk diwawancara. Pada awalnya kita semua masih semangat, namun setelah beberapa pertanyaan dijawab, hati kami hancur. Mendengar fakta yang sebenarnya, mendengar keinginannya yang tak pernah diceritakan, mendengar keadaan yang sedang dijalani, ya masih lebih beruntung kehidupan kita. Kita masih bisa makan teratur, masih bisa membeli pakaian baru, masih bisa membeli makanan enak, yang mungkin hampir tak terlintas dipikiran pak Amir. Melihat semangat pak Amir untuk mencari nafkah, sesekali terlintas mamah bapak disana yang sedang mencari uang untuk membiayai gengsi anaknya.

Bukan hanya kisah sedih, tapi kita lebih ingin menonjolkan semangat pak Amir dalam segala persaingan dagang di lingkungannya. Dengan sabar beliau menunggu pelanggannya yang terkadang mampir atau hanya melewati saja. Makanannya memang masih tradisional, harganya juga tak seberapa untuk kalangan mahasiswa yang berkuliah disini. Beliau tanpa lelah menunggu makanannya laku kurang lebih 8 jam lamanya, dan itupun kadang masih tersisa. Sangat jauh dibandingkan dengan makanan sekitarnya yang lebih modern  dan lebih kreatif, yang hanya setengah haripun sudah ludes terjual. Bukan tidak mau pak Amir berkreasi lagi, karena keterbatasan modal dan susah mencari ide yang baru sehingga pak Amir masih harus bertahan dengan Mendoannya. Kenapa kami sebut Mendoan Metropolitan? Karena kegigihan pak Amir yang masih mempertahankan resep tradisional mendoannya di kota sebesar Bandung, dimana jaman semakin maju dan sejuta jenis makanan baru mulai bermunculan.

Untuk kamu yang ada di sekitaran Telkom Univeristy, mungkin mendoan lamongan ini bisa jadi referensi untuk teman makan nasi. Letaknya tepat di sebrang atm bni, arah ke sukabirus. Pokonya gerobaknya itu di deretan jajanan pinggir jalan sektor PGA-Sukabirus. Atau kalo kamu ngerti perkembangan bisnis dibidang kuliner, mungkin bisa bantu memberi ide untuk bapak ini supaya jualannya bisa berkembang dan memberi penghasilan yang lebih cukup. Bapak ini gak  perlu dikasihani, dengan tangannya sendiri beliau masih mampu untuk bekerja tanpa meminta-minta.

Untuk kamu yang penasaran sama film dokumenternya, bisa sekalian ditonton ya hehe.
Chek this out..


CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top